Sunday 25 December 2011

Organisasi Ideal - Kesetaraan, Pengawasan, Penilaian dan Nirlaba

Kesetaraan

Organisasi ideal adalah organisasi dimana anggota-anggotanya memiliki kedudukan yang sama, tanpa kelas/tingkatan, bekerja dengan sukarela sesuai keinginan dan tanpa paksaan, saling membantu, saling memahami, berkomunikasi secara efektif dan dapat mencapai tujuan bersama mereka. Bentuk ini lebih menekankan pada distribusi pekerjaan daripada distribusi jabatan, kedudukan dan kekuasaan. Organisasi ini dapat dibentuk kalau anggota-anggotanya memiliki kemampuan penilaian rasional yang relatif setara.

Pada praktek nyatanya, hampir semua organisasi besar tidak ada yang menerapkan organisasi ideal ini. Beberapa kemungkinan yang menjadi alasan tidak diterapkan bentuk organisasi ini adalah:


1. Cara berfikir kita dimulai dengan common sense dari apa yang mudah terlihat.

Sebelum membentuk organisasi, para anggota kelompok selalu melihat contoh organisasi besar yang telah ada. Ketika kita diminta untuk membuat lemari pakaian, maka imajinasi kita langsung mencari lemari pakaian yang telah ada. Hal ini secara langsung membatasi imajinasi kreatif dari nilai fungsional sesungguhnya seperti; berapa banyak pakaian yang akan dimasukkan, dimana lemari akan ditaruh, kondisi temperatur dan kelembaban tempat agar pakaian tidak jamuran atau pintu kayu bengkok, dll.


2. Pembentukan organ dipandang sebagai cara paling efektif untuk mendistribusikan pekerjaan.

Ini adalah emanasi dari pemikir mainstream dalam kajian devision of labour. Tema ini sudah dikaji oleh pemikir-pemikir dari Plato, David Hume, Adam Smith, Karl Marx, Ludwig von Mises sampai era globalisasi dengan jargon comparative advantage nya Adam Smith. Walaupun Karl Marx mengatakan division of labour akan berujung pada alientation(kebalikan harmony) tapi dia memandang hal ini sebagai temporary necessary evil.

Dari semua pemikir ini kesimpulan mereka adalah pembagian pekerjaan adalah cara yang efektif untuk menyelesaikan pekerjaan yang besar. Akhirnya literatur-literatur tentang organisasi, management, produksi, dll, selalu menyatakan division of labour sebagai metode penting untuk meningkatkan efektivitas organisasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa devision of labour ini meningkatkan produktivitas, tapi alienation nya Marx bisa kita lihat dengan gamblang dari buruh pabrik sepatu yang harus menjahit 8 jam sehari yang artinya 50% dari jam bangun dia/hidup dia, harus dihabiskan sebagai mesin.


3. Aliran informasi dan pengambilan keputusan yang lambat.

Hal ini banyak dijadikan alasan oleh para elit penguasa organisasi seperti; elit politik dalam negara, CEO dan pemilik dalam perusahaan, aktor intelektual dalam NGO. Lambatnya aliran informasi lebih cenderung pada keputusan elit untuk membuka informasi ke publik, bukan karena bentuk organisasi. Sebuah informasi terkadang dianggap sensitif dan tidak layak untuk disebarkan ke publik. Sikap ini pada akhirnya berujung pada sensor yang merupakan alat berbahaya untuk menyembunyikan kejahatan.

Tidak perlu cerita panjang bagi masyarakat Indonesia untuk memahami bahwa dibalik senyum manis Suharto ada pembantaian ratusan ribu atau malah jutaan, masyarakat Timor Leste, Aceh, Irian dan PKI dengan bantuan Amerika. Senjata paling ampuh dia bukan peralatan militer canggih yang di suplai dari Amerika tapi sensor yang sampai sekarang kita bahkan tidak tahu bentuk supersemar yang asli. Sensor tidak perlu dilakukan untuk masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi(memiliki tingkat penilaian rasional yang relatif setara).

Ketidakberhasilan membuat semua informasi terbuka untuk semua anggota adalah bukti kegagalan organisasi dalam pendidikan karena kemampuan peninalian rasional anggotanya tidak setara. Didukung dengan teknologi yang ada sekarang, aliran informasi justru malah lebih cepat jika disebarkan secara langsung menggunakan media-media komunikasi yang cepat seperti jejaring sosial, mailinglist, dll. Misalnya, untuk mengundang anggota PPI Hyderabad, cukup mengirim email ke mailinglist dan tidak perlu merepotkan ketua.

Sama halnya dengan kecepatan aliran informasi, pengambilan keputusan yang lambat lebih cenderung dikarenakan elit organisasi yang tidak percaya terhadap rational judgment anggotanya. Keputusan yang terpusat ini juga bisa menjadi alat yang sangat berbahaya, sama halnya dengan sensor, yang bisa digunakan oleh elit organisasi untuk melakukan kejahatan. Jika keputusan rasional bisa diambil dengan cepat oleh setiap anggota, maka tragedi kemanusiaan yang terjadi di Srebrenica dan Rwanda tidak perlu terjadi karena pasukan yang bertugas bisa bertindak dan meminta bantuan untuk menghentikan pembantaian masal.

Berbagai argumentasi yang menghalangi perlakuan setara bagi tiap anggota dalam organisasi selalu muncul seperti ketidak siapan anggota menerima informasi, isu-isu yang bisa memicu konflik, tingkat pendidikan yang tidak setara, jenis kelamin, ras, agama, dll. Untuk informasi yang menyangkut kepentingan anggota, alasan-alasan tersebut tidak akurat. Jika memang tingkat pendidikan masih rendah, isu SARA sangat kental, militan-militan menjadi penghalang, maka penyampaian informasi bisa disertai pendidikan dan aturan-aturan yang bisa mencegah terjadinya dampak negatif. Dengan demikian, informasi, aturan-aturan dan pengambilan keputusan dapat diimplementasikan secara setara dan terbuka


Pengawasan vs. Penilaian

Karena saya lahir di lingkungan Muhammadiyah, maka kata-kata Amar ma'ruf, nahi munkar melekat di ingatan saya yang artinya "mengajak kepada kebaikan dan mencegak kemungkaran". Saya sempat merenung panjang dan mengagumi nilai ini secara tekstual maupun kontekstual. Walaupun kalimat ini sangat sederhana, namun banyak orang yang tidak memahami dan malah salah menilai artinya. Kalau diterjemahkan secara kontekstual artinya kita berusaha berkomunikasi, menyampaikan dan bekerja agar idealisme kita didengarkan, kemudian mengawasi dan mencegah hal-hal negatif yang berlawanan dengan idealisme kita.

Kalimat diatas sering diimplementasikan dengan melihat, membiarkan dan menilai/menghakimi. Penilaian sering diidentikkan dengan nahi mungkar untuk mecegah supaya hal yang menurut kita negatif tidak terulang lagi. Dari makna harfiahnya pun kita dapat memahami bahwa mencegah tidak sama dengan menilai/menghakimi. Mencegah menuntut kita untuk berperan aktif dalam kegiatan sedangkan dalam menilai kita tidak perlu berperan. Amar ma’ruf, nahi mungkar tidak melibatkan kata menghakimi dan ini sangat penting untuk ditekankan.

Menghakimi artinya memaksakan idealisme kita ke orang lain yang belum tentu sependapat dengan kita. Ketika kita menghakimi seseorang, kita cenderung tertutup untuk berdiskusi dan menyampaikan idealisme kita karena kita tidak menghormati kebebasan orang lain dalam mengambil keputusan. Dalam kondisi ini, sikap yang kita lakukan bukan lah amar ma’ruf tapi malah menutup diri kita dari amar ma’ruf. Kesalahan memang perlu diadili, namun pengadilan/sikap menghakimi yang dilakukan secara personal sangat bernilai subjektif dan sangat rentan dengan kesalahan. Pengadilan sebaiknya dilakukan bersama atau diwadahi dalam institusi bersama.

Keputusan yang telah berlalu yang kita nilai salah sebelum diputuskan salah secara organisasi kita simpan sebagai data tambahan untuk amar ma’ruf, nahi munkar. Ketika kita berkomunikasi, bisa jadi apa yang kita anggap salah tadi menjadi benar. Dengan cara ini mekanisme saling mengkoreksi menjadi efektif dalam pengawasan. Dalam pengawasan yang melibatkan amar ma’ruf, nahi munkar yang sesuai dengan idealisme kita, sikap lembut dan pengertian lebih efektif dibandingkan sikap berani dan tegas.

Pengawasan adalah komponen utama dalam menciptakan organisasi yang ideal. Organisasi besar seperti negara dan perusahaan-perusahaan besar memiliki permasalahan besar dalam hal pengawasan. Pemerintah negara-negara yang tidak demokratis tidak memiliki pengawasan sama sekali. Mereka bisa mensensor informasi, menyelewengkan kekuasaan dan melakukan kejahatan tanpa diketahui oleh masyarakat.

Pemerintah yang demokratis pun juga memiliki permasalahan besar dalam pengawasan. Pertisipasi masyarakat dalam pemilihan di berbagai negara demokrasi semakin menurun. Tren menurunnya jumlah pemilih dapat kita lihat pada grafik berikut:


Salah satu alasan menurunnya jumlah pemilih dalam proses demokrasi adalah sikap apati masyarakat terhadap pemerintah. Sikap apati bukan hanya muncul dari orang-orang yang tidak berpartisipasi dalam demokrasi, namun juga muncul dari orang yang berpartisipasi. Hal ini terjadi karena sistem pemerintahan yang komplek sehingga satu suara masyarakat mempunyai peluang yang sangat kecil untuk mengubah kebijakan pemerintah.

Pada perusahaan besar, pengawasan terhadap para elit pemimpin perusahaan juga sulit dilakukan. Pemilik perusahaan biasanya tidak punya waktu atau fasilitas untuk mengawasi perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan yang go public. Board directors ditunjuk untuk mengawasi aktifitas perusahaan. Permasalahannya adalah board directors juga ditunjuk oleh elit pemimpin perusahaan sehingga fungsi pengawasannya menjadi tidak optimal.


Organisasi Ideal

Organisasi yang memiliki kesetaraan, pengawasan dan penilaian ideal memang sulit ditemukan karena kita telah terbelenggu pada sistem yang secara institusional sulit untuk dikoreksi. Namun ada satu organisasi yang sangat menarik untuk dijadikan contoh yang kita sebut sebagai keluarga. Bentuk modern dari organisasi ini bercirikan kesetaraan anggota, perekonomian ditanggung bersama, saling membantu secara emosi dan fisik,  keterbukaan informasi dan komunikasi yang efektif. Setiap anggota keluarga diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk berkreasi sesuai dengan minat dan kemampuannya. Untuk menyampaikan informasi, kita tidak harus secara formal memberikannya kepada kepala keluarga. Hampir semua ciri organisasi ideal bisa kita temukan di keluarga.


Nirlaba

Bisakah organisasi keluarga ini diterapkan di organisasi yang lebih besar?

Jawabannya adalah bisa tapi harus melalui jalan yang terjal, berduri dan berliku di tengah hutan. PPI Hyderabad sedang menerapkan bentuk ini dengan mengimplementasikan paguyuban sebagai sebuah bentuk yang paling mendekati organisasi keluarga.

Pada waktu pemilihan kita mesekapati bahwa ketua tidak akan menanggung beban apapun. Setiap pekerjaan yang muncul sekecil apapun kalau bisa akan kita distribusikan. Kenyataan pengunduran diri saudara kita dari salah satu dewan presidium adalah bukti bahwa memang terdapat beban disitu. Saya sedikit kecewa terutama pada diri saya sendiri dan lebih kecil dari sedikit kecewa dengan kawan-kawan. Orang yang tidak mengecewakan saya adalah mantan ketua kita yang mengundurkan diri. Munculnya beban ini karena ketidakmampuan kita memahami kesetaraan dan distribusi tanggung-jawab dan pekerjaan.

Sikap kita yang tidak sensitif terhadap beban fisik maupun psikologis yang diemban ketua kita menjadi sumber kegagalan kita. Kalau kita masih tidak mampu memahami arti kesetaraan dan distribusi beban, saya meramalkan distribusi beban akan kembali terpusat pada ketua kita yang lain. Ketika kita memiliki ide yang kita rasa bagus, sekecil apapun, termasuk membuat laporan dan memposting di milis, yang seharusnya kita lakukan adalah bagaimana kita mengerjakan ide tersebut, bukan menyuruh ketua kita untuk mengerjakannya. Kalau tidak ada satu orang pun yang mau mengerjakan ide tersebut, maka kita harus mencari cara agar ada orang yang mau mengerjakan, contohnya dengan memberikan insentif. Kalau dengan berbagai cara masih tidak ada yang mau mengerjakan, maka ide tersebut terpaksa harus ditinggalkan. Secara default beban ketua telah kita sepakati tidak ada.


Sumber Ekonomi

Bentuk ketidak dewasaan muncul dalam organisasi ketika sebuah sumber ekonomi baru ditemukan. Berbagai idealisme yang sebelumnya tidak terpikirkan muncul dan menimbulkan ketegangan yang nilai kerugiannya bisa lebih besar dari sumber ekonomi tersebut. Sebelum sumber minyak di Ambalat ditemukan, Indonesia dan Malaysia tidak mempermasalahkan wilayah tersebut milik negara mana. Pengeluaran dari kebijakan luar negri Amerika yang terpusat pada penggunaan militer untuk mempertahankan sumber-sumber minyak bisa digunakan untuk membeli sebuah negara. Kejadian ini tidak hanya terjadi di kasus negara dengan sumber minyak tapi juga di semua bentuk organisasi yang bisa kita temukan. Apakah memang harus demikian?

Kita ambil contoh, seorang bapak yang mendapatkan bantuan Rs.10.000/- untuk keluarganya. Dengan segala pertimbangan dia, dia habiskan Rs.3500/- untuk membeli tiket pesawat pulang yang seharusnya bisa Rs.500/- kalau naik kereta. Kalau kita pandang keputusan sang bapak secara lebih luas, uang yang dia gunakan untuk naik pesawat bukanlah pemborosan karena keputusan ekonomi selalu melibatkan trade-off. Dengan membeli tiket pesawat dia bisa meluangkan waktu santai dan berkumpul dengan keluarga yang mungkin menurutnya nilainya lebih besar dari Rs.3500/-. Kalau keluarga mempertengkarkan keputusan sang bapak, maka mungkin nilai trade-off ini tidak lagi positif dan bahkan pertengkaran bisa mengakibatkan kerugian yang lebih besar dari Rs.10.000/-, sang istri ngambek dan pulang kampung misalnya.

No comments:

Post a Comment